BANGKOK, Thailand — Seorang pria muda menunjuk tangan. Sesaat ia
terdiam, sebelum membuka mulut dan berkata, “My name is Sikdam Hasim. I am from
Indonesia and I’m the only disabled person in this room” (Nama saya Sikdam
Hasim. Saya berasal dari Indonesia dan saya merupakan satu-satunya penyandang
disabilitas di dalam ruangan ini).
Sikdam kemudian melanjutkan pertanyaannya dalam salah satu sesi
“Youth at the Heart of the 2030 Agenda: Case4Space,” yang digelar oleh
Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco) di Bangkok,
Thailand, pada Rabu, 30 November, lalu.
Pria berusia 27 tahun itu terpilih menjadi salah satu delegasi
pemuda dari Asia Pasifik untuk menyuarakan pendapatnya tentang kebebasan
berekspresi anak-anak muda di Indonesia dan kawasan.
Meski difabel, namun ini
bukanlah pertama kalinya ia diundang menjadi perwakilan pemuda di
konferensi-konferensi di dunia. Kisah inspiratifnya telah membawanya melanglang
buana, dari benua Asia, Eropa, hingga Afrika.
Ia dipilih untuk mewakili Indonesia dalam Global Youth Penyandang
Disabilitas di Kenya, Afrika, pada 2013. Ia juga menjadi orang Indonesia
pertama yang menyandang disabilitas untuk menerima penghargaan internasional
untuk orang-orang muda dari Pangeran Edward dari Inggris.
Harapannya sebagai seorang penyandang disabilitas adalah ia ingin
mereka yang bernasib sepertinya diakui hak-haknya oleh negara. “Saya sudah
diundang oleh pihak kerajaan Inggris, sekarang tinggal menunggu undangan dari
pemerintah Indonesia,” katanya sambil tertawa.
Setengah bercanda ia mengatakan, bahwa akan menjadi kehormatan
baginya jika ia dapat bekerja untuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo. “Mungkin
saya bisa menjadi penyandang disabilitas pertama yang bekerja di Istana,”
ucapnya.
Sikdam berharap kisahnya bisa menginspirasi layaknya Leah-Katz
Hernandez, seorang tunarungu yang bekerja sebagai resepsionis di Gedung Putih
Amerika Serikat.
Rappler mengobrol dengan Sikdam di sela-sela konferensi Case4Space
di Bangkok. Begini kisahnya:
Sejumlah
relawan memperingati Hari Disabilitas Internasional di Lapangan Karebosi
Makassar, Sulawesi Selatan, pada 3 Desember 2016. Foto oleh Yusran
Uccang/Antara
Nama saya Sikdam Hasim. Saya berasal dari Indonesia.
Saya buta, tetapi saya terlahir sebagai manusia normal. Saya
memiliki mata yang sempurna. Lima tahun yang lalu saya mengalami sebuah
kecelakaan mobil yang menyebabkan saya menjadi buta.
Pertama kali saya menyadari saya buta, saya sangat terkejut,
stres, sedih, dan tidak bisa menerimanya.
Hal yang paling mengerikan pada saat itu adalah bahwa saya ingin
mengakhiri hidup saya, karena saya pikir hidup saya sudah berakhir. Saya yakin
saya tidak bisa melanjutkan hidup saya tanpa mata saya.
Bagi saya, mata segalanya. Namun, setelah satu tahun, saya
menyadari bahwa penglihatan bukanlah segalanya. Saya percaya saya masih bisa
melanjutkan hidup saya tanpa mata saya.
Saya percaya saya masih bisa bekerja, belajar, dan membuat prestasi
bahkan sebagai seorang difabel.
Saat ini saya adalah seorang guru, sukarelawan, dan advokat muda
untuk penyandang disabilitas.
Orangtua saya berasal dari Aceh, tapi saya lahir di Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara, pada 5 Juli 1989. Namun, saya tumbuh di Jakarta dan
menyelesaikan pendidikan saya di Bali.
Saya mengalami kecelakaan itu, lima tahun yang lalu di Jakarta.
Saat itu saya sedang bersama dengan seorang teman. Dia yang mengemudikan mobil.
Saya pikir ketika itu, dia memang sedang mengendarai mobilnya lebih cepat
daripada yang seharusnya.
Pada satu titik, mobil menabrak sesuatu sehingga terbalik. Kepala
saya terbentur bagian atas mobil dan tiba-tiba mata saya buta.
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Namun, teman saya itu baik-baik
saja, tidak ada masalah dengan dia.
Kecelakaan itu terjadi sekitar 2 bulan setelah saya selesai
menyelesaikan kuliah. Saat itu saya dalam proses melamar pekerjaan.
Jika kecelakaan itu tidak terjadi, saya ingin menjadi diplomat.
Saya ingin melanjutkan studi saya. Saya mendapat beasiswa dari Jepang dan
Singapura, tetapi mereka membatalkannya karena kecelakaan.
Saya telah melakukan tiga operasi, tetapi tidak berhasil. Para
dokter telah angkat tangan. Mereka mengatakan mereka tidak dapat melakukan
apa-apa dengan mata saya. Mereka mengatakan saya harus hidup dengan kondisi
saat ini.
Ini adalah proses yang panjang di mana saya diremehkan dan
mendapat diskriminasi. Saya hidup dengan stigma masyarakat. Itu sebabnya yang
membuat saya ingin mengakhiri hidup saya. Saya tidak bisa mendengarkan apa yang
mereka katakan, baik dari teman saya maupun masyarakat.
Mereka mengatakan, "Tanpa mata, kamu itu bodoh. Kamu bukan
apa-apa”.
“Tidak peduli seberapa pintar kamu, tidak peduli apa yang kamu
pelajari, jika kamu merupakan seorang difabel, kamu seperti orang mati,” begitu
kira-kira kata-kata mereka.
Indonesia hanya melihat orang-orang buta sebagai tukang pijat atau
penyanyi. Dan itu buruk. Mereka mengatakan bahwa orang buta tidak dapat
mengakses teknologi, seperti menulis email dan sebagainya. Namun, saya bisa
melakukan itu.
Stigma lain adalah bahwa Indonesia melihat orang-orang dengan
kecacatan lemah itu bodoh. Dan itu salah. Saya bisa membuktikannya sekarang.
Saat ini di Indonesia, ada 27 juta penyandang disabilitas yang
terdiskriminasi dari hak pendidikan, dari aksesibilitas, dan dari pelayanan
kesehatan.
Akhirnya, saya berhenti mendengarkan mereka yang mencemooh saya
setelah lebih dari satu tahun. Dukungan dari ibu saya membantu saya berada di
tempat saya sekarang. Beliau selalu berkata, "Sikdam, kamu itu cerdas.
Kamu luar biasa. Kamu memiliki sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat. "
“Sikdam, Kamu harus bersyukur kepada Allah. Kamu harus bangga pada
dirimu. Selalu fokus pada kemampuanmu, bukan pada ketidakmampuanmu,” kata ibu.
"Tolong lihat ketidakmampuan kamu sebagai kekuatan, bukan
kelemahanmu.”
Ibu saya selalu mendukung saya. Beliau selalu mengatakan bahwa
saya masih bisa mencapai apa yang saya inginkan.
Sejak saat itu saya mulai menerima kondisi saya. Saya mulai
belajar dan bekerja lagi sebagai seorang difabel. Sampai pada satu titik saya
menemukan golden way untuk hidup dengan disabilitas.
Saya percaya apa yang beliau katakan. Sekarang saya adalah seorang
guru bahasa Inggris dengan sebuah keunikan yang berbeda dari orang lain.
Kini saya sering terpilih untuk mewakili Indonesia di berbagai
ajang internasional. Film pertama saya, What You Can Do When You’re Blind,
akhirnya dirilis secara nasional pada 2016.
Saya ingin mengatakan bahwa 5 tahun yang lalu, menjadi seorang
difabel adalah sebuah kutukan dan bencana besar bagi hidup saya. Namun hari
ini, saya mengatakan bahwa disabilitas adalah anugerah dan karunia yang besar
dari Allah kepada saya.
Mengapa?
Karena setelah mengalami kecelakaan, saya bisa mengejar
impian saya satu per satu. Saya punya banyak kesempatan untuk mengunjungi
banyak negara, untuk berbagi cerita saya. Kemudian setelah kecelakaan, saya
bisa membuat hidup saya menjadi bermakna dan bermanfaat.
Saya pikir prestasi saya tidak hanya membuat keluarga saya bangga,
tetapi juga negara saya. Hari ini, saya percaya bahwa Tuhan selalu memberi saya
yang terbaik di setiap detik dalam hidup saya.
Saya percaya bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib saya. Saya
harus mengubahnya sendiri. Dan saya percaya bahwa tidak ada prestasi, tidak ada
kinerja, tanpa dedikasi dan kerja keras.
Hari ini saya menyadari bahwa saya tidak cacat. Saya hanya berbeda
dari yang lain.
Hari ini saya bisa membuktikan kepada dunia bahwa orang-orang
dengan disabilitas adalah sangat unik, cerdas, mandiri, dan inspiratif.
Saya telah kehilangan penglihatan saya, tetapi saya tidak akan kehilangan
visi saya.
Jika kamu bertemu saya, lihatlah kemampuan saya, bukan
ketidakmampuan saya.