Masih ingat dengan kasus bunuh diri karyawan Dentsu yang dipaksa kerja 105 jam lebih itu? Jam bekerja yang lama ditambah dengan beban kerja yang gila-gilaan, membuat karyawan Jepang punya kecenderungan stres tinggi sampai banyak yang memilih mengakhiri nyawa. Karyawan mana sih yang nggak stres kalau kerja terus-terusan? Kalaupun dulu sektor industri Jepang sempat berjaya, kesuksesan itu tak bisa dipertahankan lama karena sistem kerjanya yang gila-gilaan.
Sistem yang menyebabkan makin tingginya kasus karoshi, kematian karena stres kerja dari tahun ke tahun ini jelas perlu diubah. Maka dari pemerintah Jepang mulai menggalakkan pemotongan jam kerja, menyontoh negara lain yang sudah terlebih dahulu membuktikan bahwa lamanya jam kerja sebenarnya tidak berbanding lurus dengan produktivitas.
Belanda dan Jerman sudah jadi contoh nyata. Betapa jam kerja dan beban kerja yang nggak muluk-muluk, justru berbuah manis untuk perusahaan
Belanda dan Jerman menerapkan aturan work-life balance dalam sistem kerja perusahaan di sana. Jam kerja di Belanda dan Jerman bahkan tidak menyentuh angka 40 jam per minggu. Oh iya, kedua negara tersebut juga memiliki banyak hari libur dan jatah paid vacation loh. Tapi alih-alih produktivitas menurun, angka dan statistik produktivitas di kedua negara tersebut justru termasuk yang tertinggi di dunia. Tengok saja kondisi keduanya ketika banyak negara diguncang masalah ekonomi. Gejolak ekonomi dunia seakan tak berpengaruh apa-apa terhadap dua negara tersebut.
Pun demikian dengan Swedia. Meski risikonya tinggi, eksperimen 6 jam kerja mereka membuahkan hasil yang nyata
Pada 2015 silam, Swedia mengejutkan dunia dengan headline berita seputar pengurangan jam kerja tersebut. Risiko besar menghadang Swedia ketika negara tersebut bereksperimen dengan memangkas jam kerja pegawai menjadi 6 jam per hari. Namun, risiko yang jadi kenyataan pada akhirnya kalah dengan dampak positif yang dihasilkan. Faktanya setelah eksperimen 6 jam kerja ini dilangsungkan, angka stres dan tuntutan pegawai jadi menurun. Sementara jika bicara produktivitas, pegawai dengan 6 jam kerja di Swedia memiliki angka produktivitas yang lebih tinggi.
Menerapkan sistem jam kerja fleksibel seperti yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Inggris juga bisa jadi pilihan…
Tren di Inggris sedikit berbeda dengan yang tengah diterapkan di Jerman, Belanda, Swedia, apalagi Jepang. Jika di negara-negara tersebut jam kerjanya ditentukan oleh regulasi perusahaan, perusahaan di Inggris justru menerapkan jam kerja fleksibel karena dinilai lebih menguntungkan bagi perusahaan dan pegawai. Dengan jam kerja yang fleksibel, pegawai akan terhindar dari stres. Hasilnya, produktivitas akan meningkat. Di era modern seperti sekarang, kebanyakan orang justru lebih memilih jam kerja fleksibel daripada gaji yang tinggi.
“Semakin lama kamu kerja, semakin banyak produk yang dihasilkan” itu teori lama. Teori yang sudah usang dan harusnya mulai ditinggalkan
Anggapan bahwa semakin lama kerja, produktivitas juga semakin tinggi mungkin berlaku bagi generasi kakek-nenek kita. Namun bagi generasi sekarang, jam kerja yang banyak hanya akan menimbulkan stres berkepanjangan. Sudah banyak buktinya. Karena jam dan beban kerja yang tinggi, angka stres pegawai terus meningkat tiap tahunnya. Dengan terbukti berhasilnya sistem jam kerja sedikit yang diterapkan beberapa negara tersebut, sepertinya anggapan lamanya jam kerja berbanding lurus dengan tingginya produktivitas akan segera tergantikan.
Dengan fakta-fakta tersebut, nggak lama lagi slogan “kerja keras” akan digantikan dengan “kerja secara efisien”. Yah generasi sekarang ‘kan lebih pengen jadi manusia bebas daripada jadi robot yang kerjanya kaku dan diatur regulasi secara ketat.