Setiap hari, ruang editing yang menjadi tempat kerja keenam editor video selalu terdengar sepi. Cuma ada dua sumber kebisingan di ruangan yang berdinding kaca itu: suara ketikan keyboard dan hembusan pendingin udara. Lalu, suara ikonik lagu "Tahu Bulat" dari luar kantor membuyarkan semuanya.
"Inilah alasan kenapa rata-rata editor lebih memilih untuk bekerja di malam hari," ucap Agung Mahardika (27), editor video di salah satu stasiun televisi.
Rekan satu ruangan Agung, Arwan Riansyah Lubis (27), merasakan hal yang sama. Sebagai pekerja yang mengandalkan suasana hati, ia menekankan bahwa ketenangan adalah syarat mutlak agar pekerjaannya bisa dilakukan dengan maksimal.
Kebisingan menjadi beban lain bagi kedua editor tersebut selain deadline dan tekanan dari atasan. Hal ini kerap membuat keduanya, mungkin juga editor video di seluruh dunia, kerap kehilangan suasana hati yang berpengaruh pada meningkatnya rasa depresi.
"Saat pekerjaan terganggu gara-gara bising, rasa kesal itu pasti ada, tapi tergantung jam terbang kita juga. Dulu, awal-awal menjadi editor video pasti kerasa. Tapi saya mencoba untuk menjaga agar suasana hati itu tidak terganggu. Salah satu caranya ya dengan menghibur diri sendiri," jelas Arwan.
Selain editor video, pekerjaan yang bergantung pada suasana hati memang memerlukan ketenangan. Pasalnya, hal tersebut secara langsung bisa memengaruhi konsentrasi seseorang. Dalam bahasa lain, mereka mesti bekerja dalam kesendirian.
Mereka yang Bekerja Sendiri
Beberapa pekerjaan umumnya dilakukan sendirian, tapi tak sedikit pula yang biasanya dilakukan bersama-sama seperti menggali sumur atau membangun rumah. Para pelukis, pemahat, dan penulis, memerlukan ketenangan saat mereka bekerja. Sementara pekerjaan seperti akuntan dan programer biasanya lebih sering bekerja sendirian--dalam arti yang sebenarnya.
Terdapat perbedaan antara mereka yang bekerja sendirian dengan mereka yang membutuhkan ketenangan. Mereka yang bekerja sendirian biasanya mendapatkan ketenangan dari kesendirian itu. Tentu, ketenangan bukan soal berapa desibel yang terdengar di ruangan tersebut, tapi bagaimana kebisingan yang terdengar bisa membuat mereka nyaman.
Misalnya, saat bekerja, seorang programer mungkin akan memutarkan lagu K-Pop sebagai musik latar dengan volume penuh. Kebisingan yang dihasilkan tidak akan mengganggu pekerjaannya karena ia merasa nyaman dengan musik yang didengarkannya.
Sementara itu, pekerjaan yang menuntut ketenangan sebenarnya tidak masalah jika dilakukan di satu tempat secara bersama-sama. Asalkan suasananya mendukung untuk pekerjaan tersebut.
"Kalau bekerja sendirian memang bisa fokus pada pekerjaan, tapi kalau sendirian jadinya tidak bisa bertukar pikiran," jelas Arwan.
Suasana seperti ini bisa ditemui di redaksi Panditfotoball, misalnya. Suasana tenang dan sepi akan terasa sepanjang hari. Namun, selalu ada momen di mana satu penulis mengeluarkan ide untuk ditanggapi penulis lain. Sontak para penulis lain pun menghentikan aktivitas menulis atau merisetnya untuk menanggapi dan bertukar pikiran.
Untuk pekerjaan yang memerlukan ide-ide segar dengan beragam argumen di dalamnya, agaknya metode suasana bekerja seperti itu cocok untuk diterapkan. Namun, tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan macam itu. Contohnya mereka yang bekerja secara remote seperti kontributor. Mereka yang bekerja di rumah dan tidak menetap di kantor utama, akan memiliki sedikit keterbatasan dalam bertukar pikiran. Pasalnya terdapat pengalaman yang berbeda saat bertatap muka langsung dengan saling menatap lewat layar LCD laptop atau telepon genggam.
Meningkatnya Kesendirian
Kecenderungan untuk bekerja sendirian agaknya kian hari kian meningkat. Berdasarkan survei Mental Health Foundation, sebanyak satu dari 10 orang di Inggris merasakan kesepian dan 48 persen merasakan kesepian secara umum. Britania Raya sendiri disebut sebagai "Ibukotanya Kesepian di Eropa" dalam survei Badan Pusat Statistik Inggris. Hal ini membuat masyarakatnya akan lebih sulit menjalin pertemanan atau sekadar mengenal tetangganya.
Professor John Cacioppo dari Universitas Chicago dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa merasa kesepian dapat meningkatkan risiko serangan jantung, demensia, depresi, susah tidur, meningkatkan tekanan darah, dan mengurangi kekebalan tubuh. Kesendirian, sama buruknya dengan merokok 15 batang sehari!
Soal kesendirian ini, pada 2014 lalu Menteri Kesehatan Inggris, Jeremy Hunt, menyebut data-data yang muncul sebagai "statistik yang memalukan". Hal ini menjadi wajar karena ada sejumlah kasus di mana seseorang baru ketahuan meninggal di rumahnya berhari-hari setelah kematiannya. Ini tak lain karena tetangganya tak menyadari kalau ia sudah meninggal.
Kesendirian memang tidak bisa dibohongi, termasuk hubungan di media sosial. Banyaknya jumlah pengikut di Instagram ataupun di Twitter, tidak memengaruhi seseorang merasa kesepian. Salah satunya Jouelzy, blogger spesialisasi gaya hidup, yang punya lebih 100 ribu viewers. Jouelzy menulis bahwa ada paradigma di generasi milenial yang lebih mementingkan kesuksesan di media sosial ketimbang hubungan nyata antarmanusia.
"Saat aku menyalakan kamera dan bicara pada 100 ribu audiens, itu mengejutkan pikiranku karena aku masih memiliki perasaan kesepian," tulis Jouelzy.
Prof. Cacciopo melanjutkan bahwa mereka yang berusia di atas 50 tahun akan lebih berisiko merasakan kesepian. Ada paradigma di mana saat seseorang pensiun, terutama di Amerika, mereka akan memutuskan hubungan dengan rekan kerja, teman, dan keluarga, untuk berlibur dan menunggu kematian di Florida.
"Pensiun dan pindah ke Florida untuk hidup di iklim yang lebih hangat di antara orang yang asing, bukanlah ide yang bagus kalau dengan cara itu Anda memutuskan hubungan dengan orang-orang yang berarti," jelas Prof. Cacciopo.
Hal ini dirasakan oleh James Gray, seorang pensiunan asal Irlandia. Ia bahkan mencari seseorang untuk menghabiskan malam Natal bersamanya dengan cara memasang iklan di koran. Hal ini terjadi pada Desember 2013 silam. Gray, yang kala itu berusia 85 tahun, bahkan sudah tak ingat kapan terakhir kali ia menghabiskan malam Natal dengan orang lain. Yang ia rasakan hanyalah kesendirian.
Cerita soal Gray menjadi viral karena meski telah memasang iklan, tapi cuma satu orang yang datang. Itupun tak lama karena dia ternyata sudah punya janji untuk merayakan Natal bersama orang lain.
"Aku pikir ada banyak orang yang kesepian dan menjadi masuk akal kalau seseorang datang ke sini untuk makan siang saat Natal," kata Gray kepada Irish Post terkait alasan mengapa ia memasang iklan. "Tahun ini akan amat sulit kalau Anda sudah tua dan hidup sendiri karena itu seperti seseorang di sekelilingmu menikmati kebahagiaan itu sendirian."
Apa yang terjadi pada Gray sebenarnya melanda mereka yang merasa kesepian di masa pensiunnya. Di sisi lain, saat ini sudah banyak mereka di usia kerja yang merasakan kesepian, karena tuntutan pekerjaannya itu sendiri.
"Kita mesti memperlakukan hubungan sosial kita lebih serius," jelas Julianne Holt-Lunstad, ilmuan dari Brigham Young University yang mempelajari tentang kesendirian. "Efeknya bisa dibandingkan dengan obesitas, sesuatu yang saat ini tengah dilihat serius."
Berdasarkan penelitian dari Universityof York, kesendirian bisa menghancurkan jantung, secara harfiah. Stres dan ketakutan diasosiasikan dengan hidup sendirian, bisa memancing respons yang berkobar-kobar pada tubuh, yang menjadi risiko terbesar dalam penyakit jantung. Mereka yang terisolasi secara sosial atau mereka yang kesepian sebanyak 29 persen berisiko terkena penyakit jantung dan 32 lainnya berisiko mengalami stroke.
Dengan sejumlah risiko yang mungkin terjadi, tentu bukan hal bijak untuk bekerja sendirian sambil menghabiskan 15 batang rokok sehari, karena--meskipun tak ada yang mati karenanya--logikanya dampak buruk yang dihasilkan bisa dua kali lipatnya.