Foto: Thinkstock/vertmedia
Jakarta, CNN Indonesia -- Mi instan, siapa yang tidak kenal dengan makanan yang satu ini. Bahan-bahan dasar yang terbuat dari gabungan tepung terigu dan minyak ini, telah menjadi salah satu makanan yang sangat tren di kalangan masyarakat bahkan menjadi “P3K”-nya mahasiswa di kala perut sudah tidak dapat menahan lapar.
Hal tersebut dibuktikan bahwa negara-negara di Asia seperti Tiongkok, Indonesia, Jepang bahkan Korea Selatan turut menyumbang data sebagai negara pengonsumsi mi instan peringkat ke-10 dunia, pada data World Instant Noodles Association (WINA) pada 2015, yang dirilis pada 2016.
Data WINA juga menunjukkan bahwa ada 13,2 miliar bungkus mi instan telah dibeli di Indonesia dan dikonsumsi pada tahun 2015. Namun pergerakan jumlahnya cenderung menurun pada 3 tahun sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya pergeseran pola hidup masyarakat yang cenderung menghindari mi instan.
Penurunan konsumsi mi instan berimbas pada pergeseran pola gaya hidup masyarakat. Adapun alasan sering terjadinya tren penurunan konsumsi mi instan di Indonesia ialah dari dua sudut pandang: kesehatan dan harga.
Dari sudut pandang kesehatan, menurut Shin, dkk (2014) pada jurnal The Journal of Nutrition, konsumsi mi instan dapat meningkatkan risiko kardiometabolisme, meningkatkan obesitas abdominal, tingginya LDL dan penurunan HDL kolestrol. Konsumsi mi instan sekali per minggu juga dikaitkan dengan kerentanan yang lebih besar pada sindrom metabolisme pada wanita dan tidak pada pria.
Hal itu disebabkan oleh asupan natrium, penggunaan estrogen menopause dan juga lingkar pinggang tidak mengubah hubungan antara asupan mi instan dan sindrom metabolisme pada wanita. Hal tersebut menyadarkan kalangan masyarakat untuk sedikit berhati-hati dengan konsumsi mi instan dan tentunya mengurangi konsumsi mi instan tersebut.
Aspek lainnya ialah harga mi instan di pasaran. Harga mi instan satuannya untuk ukuran 135 g-150 g berada pada rentang harga Rp2.000 hingga Rp2.500 per bungkus. Hal itu menyebabkan persaingan harga di tingkat pengecer dan juga berpengaruh pada daya beli di masyarakat. Hal-hal tersebut yang menyebabkan penurunan tren penjualan mi instan di Indonesia.